Cermat Mengolah Merek Agar Tidak Mati Penyesuaian Produk Tidak Boleh Merusak Citra-Sub
Ibarat mahluk hidup sebuah merek atau produk bisa mati. Bagaimana
bisa mempertahankannya? Lalu, sejauh mana konsep standarisasi produk
bisa dikembangkan?
Himawan Wigjanarko, pengamat pemasaran dari Jakarta Consulting mengungkapkan, satu hal yang tak pernah boleh terlewatkan dalam pemasaran, atau dalam bidang bisnis apapun adalah filosofi daur hidup. Yakni, lahir, tumbuh, menua dan mati. Tetapi mati bisa dihindari atau digantikan dengan tumbuh kembali, jika pelakunya mampu melakukan revitalisasi.
Dengan kata lain, pada hakekatnya sebuah merek atau produk punya life circle. Ada suatu masa di mana merek atau produk bisa mati. Namun, kematian sebuah merek atau produk bisa dihindari kalau pemilik merek atau produk bisa meniupkan kembali roh dengan cara revitalisasi. Misalnya dengan inovasi atau berbagai cara lain.
Pengalaman seratus tahun silam Henry Ford melahirkan Ford T bisa menjadi pelajaran berharga. Ketik dia meluncurkan Ford T, Henry mempertahankan kesuksesan pemasarannya dengan mengurangi harga secara terus-menerus. Ia masih memakai pola pikir yang sangat berorientasi produk. Bahkan ia berujar, "konsumen boleh membeli Ford T warna apa saja, asal berwarna hitam."
Konsepnya adalah produk masal, harga rendah, daur hidup lama. Menurut Himawan, untuk situasi dan kondisi pemasaran mobil pada saat itu, dia tidak salah. Sampai akhirnya datang para kompetitornya, yang sebenarnya harganya lebih mahal. Para konsumennya mulai mempunyai pilihan, kemudian meninggalkannya. Dan Ford T yang legendaris itu pun harus dihentikan produksinya. Daur hidupnya telah sampai pada batas akhir, tidak ada revitalisasi, dan mati. Pasar pun semakin matang. Dan kini telah terfragmentasi, yang diramaikan dengan aneka jenis mobil dalam berbagai merek.
Menurut Himawan, hampir semua produk mengalami hal yang sama. Dahulu, paparnya, sepatu hanya terbagi dua, sepatu formal dan non formal. Kemudian muncul sepatu olah raga. Dan kini untuk olah raga ada sepatu basket, jogging, sepak bola, tennis, golf, senam, dan beragam model sepatu olah raga lainnya.
Sejalan dengan semakin matang dan terfragmentasinya pasar, maka menimbulkan konsekuensi tersendiri. Sehinga terjadi semacam evolusi dari pasar masal, yang kemudian terfragmentasi dan menuntut pemasar mengambil langkah diferensiasi untuk menangkap sempalan-sempalan pasar. Daya beda (diferensiator) itu terbentuk oleh kreatifitas pemasar dalam melakukan inovasi untuk menangkap selera pasar.
Inovasi, menurut Himawan, lebih mudah diserap konsumen, jika konsumen mendapatkan nilai lebih dari produk yang digantikan dengan sesedikit mungkin merubah perilaku atau nilai yang telah dianutnya. Nilai lebih atau manfaat yang disodorkan produk baru itu bukan dalam arti obyektif, tetapi merupakan keunggulan relatif yang dirasakan oleh konsumen. Jika harus mengubah perilaku, konsumen harus benar-benar yakin bahwa produk baru tersebut memberi manfaat besar.
Mengutif studi Rogers, Himawan menjelaskan ada lima karakteristik yang dihubungkan dengan keberhasilan suatu produk baru.
1.Keunggulan relative (relative advantage). Produk baru dibandingkan dengan produk yang digantikan, tapi bukan dengan kriteria objektif, melainkan dengan keunggulan relatif di mata konsumen.
2.Kesesuaian (compability) dengan nilai yang telah melekat dalam diri si pelanggan.
3.Kompleksitasnya. Semakin sulit dimengerti semakin sulit untuk diterima.
4.Kemungkinan untuk dicoba (triability), seperti pemberian sampel.
5.Kelima, sejauh mana produk tersebut dapat terlihat oleh konsumen (obserability).
Sementara itu, mengutif juga Clancy dan Shulman yang mencatat lima alasan yang dapat menyebabkan produk baru gagal di pasar.
1. Penetapan target dan positioning yang lemah.
2. Ketidakpuasan terhadap suatu produk, yaitu kegagalan dalam memenuhi dan melebihi harapan konsumen dan melakukan penawaran yang kompetitif.
3. Kesadaran yang kurang terhadap suatu produk baru.
4. Kurangnya promosi dan distribusi.
Himawan menjelaskan, komunikasi menjadi kata kunci dalam penyebaran produk-produk inovatif. Terutama jika produk tersebut harus mengubah keyakinan, sikap, atau perilaku pemakai produk lama secara signifikan. Komunikasi one step flow masih dirasakan efektif untuk produk-produk inovatif yang bertujuan merangsang pembeli impulsif macam fast moving consumer goods. Tetapi untuk inovasi produk yang lebih kompleks seperti oven microwave yang ditujukan untuk ibu rumah tangga di kota kecil, aliran dua tahap dan komunikasi words of mouth memegang peranan cukup penting.
Diakui, inovasi mengandung resiko. Tapi inovasi dan pengambilan resiko adalah salah satu esensi dari semangat entrepreneurship yang menjadikan perusahaan membesar dan dapat bertahan dalam situasi hypercompetitive. Kembali mengutif Chan Kim dan Renee Mauborgne dalam Harvard Business Review, yang mengetengahkan tentang value innovation logic, yang ditemukan dalam perusahaan-perusahaan yang mempunyai pertumbuhan tinggi. Menurut Himawan, penganut logika model ini berasumsi bahwa mereka adalah pemain aktif yang dapat membentuk kondisi suatu industri. Berbeda dengan logika konvensional yang menganggapnya sebagai sesuatu yang given. Dalam fokus strateginya bukan sekedar melakukan benchmarking dengan kompetitornya, tetapi melakukan quantum leap untuk mendominasi pasar.
Inovasi produk dilakukan sangat tergantung kepada produknya, dinamika pasar dan strategi yang dipilih. Barang-barang teknologi secara umum perlu inovasi terus menerus. Produk pangan barangkali lebih panjang. Coca cola, teh botol inovasi dalam produknya barangkali tidak terlalu sering, tetapi inovasi dalam komunikasi pemasaran menjadi kemestian. Inovasi itu sendiri bisa dilakukan dari produknya sendiri, kemasan, penyampaian (delivery) dan komunikasi pemasarannya.
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan inovasi produk menurut Himawan adalah Kelayakan dalam berkompetisi di pasar dan kemampuan sumber daya internal untuk mendukung produk inovatif tersebut.
Standar
Bagaimana dengan standar produk? Haruskah semua tempat sama? Menurut Himawan, standar lebih mengacu kepada standarisasi kualitas. Menurutnya, tidak harus semua tempat sama.Tetapi lebih pada konsistensi. Mc D di negara asalanya tidak jualan paket nasi dan bubur, tetapi di Asia jadi menu favorit.
Bagaimana jika daerah tertentu tidak menyukainya, misalnya karena taste-nya tidak cocok, sehingga perlu merubah rasa, menurut Himawan, bisa saja dilakukan tergantung dari kebutuhan. Tetapi, katanya, harus mempertimbangkan kelayakannya, serta didukung strategi pemasaran yang tepat.
Penyesuaian produk berdasarkan kecenderungan konsumen di daerah tertentu tidak menyalahi standarisasi asalkan, produk yang spesifik untuk daerah tertentu dapat diberi pertanda. Misalnya Sunsilk Merang, Sunsilk Santan, Sunsilk Kemiri yang mungkin tidak terdapat di belahan bumi yang lain.
Intinya menurut Himawan, terletak pada konsistensi. Yaitu, konsiten terhadap apa yang telah digariskan yang biasanya terkait dengan kualitas. Perubahan atau penyesuaian produk untuk customer tertentu tidak boleh merusah citra produk (brand image).
Memang, untuk merek-merek global di sejumlah negara, satu produk bisa berbeda taste-nya dan bisa berjalan seperti yang terjadi di produk-produk resto. Tujuan perbedaan taste adalah mengakomodasi perbedaan selera konsumen yang relatif besar di antara negara-negara. Di tingkat lokal pun (dalam satu negara) bisa dilakukan penyesuaian, jika perbedaan itu cukup signifikan.
Namun, kata Himawan, jika perbedaannya produknya cukup mencolok sebaiknya diberi nama yang berbeda walaupun masih di bawah payung merek yang sama (umbrella brand ). Karena bisa jadi, konsumen itu datang dari daerah yang jauh, yang mengenal taste dari daerahnya. Sehingga, perbedaan taste tidak menyebabkan persepsi yang salah, karena adanya merek produk yang berbeda. Selanjutnya, agar penyesuaian produk itu bisa berjalan baik, Himawan menyarankan agar pelakunya melakukan riset lebih dahulu.
Sumber : Majalah Info Franchise Indonesia
www.majalahfranchise