SELAMAT DATANG di WARALABA AYAM PENYET.... Ambil Peluang Usaha AYAM PENYET... SEKARANG!!!!

CARA MEMASAK AYAM PENYET SECARA UMUM

Thursday, November 19, 2009

Cetak Pengusaha Ubah Kurikulum


Oleh : Wulan Tunjung Palupi


Kewirausahaan bisa masuk ke mata pelajaran, disebar atau ditarik jadi mata pelajaran sendiri.


Terlambat memang lebih baik dibandingkan tidak sama sekali, walaupun tentunya jauh lebih baik jika tidak terlambat. Boleh jadi Indonesia cukup terlambat dalam upaya menanamkan jiwa kewirausahaan di kalangan generasi muda. Namun, setidaknya upaya untuk mencetak lebih banyak pengusaha di negeri ini mulai didukung melalui pendidikan formal.

Setelah mencoba menyemaikan benih-benih kewirausahaan di kampus, mulai 2010 langkah untuk menciptakan semangat menjadi pengusaha dimulai dari level yang lebih dini lagi, yakni SMA. Ke depannya, subjek kewirausahaan akan mulai diperkenalkan sejak sekolah dasar (SD). Menteri Pendidikan Nasional M Nuh memasukkan penyelesaian kurikulum kewirausahaan dalam program 100 harinya. Targetnya, subjek kewirausahaan sudah masuk dalam kurikulum SMA pada 2010.

Mendiknas baru ini mengelak jika kurikulum pendidikan yang menyisipkan kewirausahaan sama dengan merombak kurikulum. Menurut dia, kurikulum pendidikan selama ini tidak diubah, namun hanya dimasukkan substansi pendidikan kewirausahaan.

Inti dari substansi kewirausahaan pada kurikulum intinya adalah pembentukan karakter kewirausahaan pada peserta didik, termasuk rasa ingin tahu, fleksibilitas berpikir, kreativitas, dan kemampuan berinovasi. Substansi kurikulum berbasis kewirausahaan selanjutnya akan menjadi bagian materi pelajaran pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Bentuk materi kewirausahaan akan disesuaikan dengan jenjang pendidikan.

"Kewirausahaan bisa masuk ke mata pelajaran, disebar atau ditarik jadi mata pelajaran sendiri. Tapi, ini masih harus dihitung dulu supaya sesuai dengan batas maksimum dari waktu belajar yang harus ditanggung siswa," ujar M Nuh.

Memulai pelatihan guru
Mengubah pola pikir bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang relatif panjang. Untuk itu, langkah awal untuk mencetak pengusaha adalah dengan memberikan pelatihan pada guru.

"Pola pikir dogmatis harus ditinggalkan oleh sekolah dan guru. Depdiknas sedang menjadwalkan untuk memberi pelatihan pendidikan kewirausahaan kepada para guru dan dosen, guna mendukung penerapan kurikulum berbasis kewirausahaan pada semua jenjang pendidikan,'' kata M Nuh.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal menegaskan, untuk mendukung program kewirausahaan di perguruan tinggi, Depdiknas akan mengucurkan dana Rp 108 miliar pada 2010. Dana tersebut untuk menambah 200 pusat studi kewirausahaan.

Tahun ini, Depdiknas telah mendirikan 300 pusat studi kewirausahaan di perguruan tinggi negeri dan swasta. ''Kalau perlu, akan kami tambah lagi anggaran tahun depan,'' katanya. Sejak tahun lalu, mata kuliah kewirausahaan sudah menjadi mata kuliah pilihan pada berbagai jurusan di tingkat universitas.

Pemerintah, ujarnya, mendukung kegiatan itu dengan membangun pusat-pusat kewirausahaan mahasiswa dan pelatihan kewirausahaan bagi mahasiswa dan dosen, bekerja sama dengan perusahaan swasta dan badan usaha milik negara. Dalam pusat studi itu, lanjut Fasli, siswa akan belajar cara-cara menciptakan dan mengelola sebuah usaha.

Ia mencontohkan, mahasiswa Fakultas Pertanian akan diajari cara-cara memasarkan produk pertanian dan mengelola bisnis, termasuk pembukuan. Fasli menuturkan, pemerintah akan mengajak perusahaan swasta dan BUMN untuk ikut memberikan pelatihan ataupun dukungan dana, guna mendukung kegiatan pusat studi kewirausahaan.

Depdiknas memperkirakan, hasil keluaran kurikulum kewirausahaan dapat terlihat dalam satu tahun masa ajaran. Pemerintah tinggal menengok berapa banyak siswa yang menjadi wiraswasta setelah lulus. Namun, untuk membentuk mental dan mindset wirausaha para pelajar ataupun mahasiswa, dibutuhkan waktu cukup lama. ''Butuh waktu paling tidak lima tahun,'' kata Fasli.

Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC), Antonius Tanan, berpendapat pendidikan kewirausahaan menuntut guru mau mengubah cara belajarnya yang tidak melulu teoretis. Di negara-negara lain yang juga memberikan pendidikan kewirausahaan di sekolah, pembelajarannya dilakukan dengan menekankan praktik lewat proyek-proyek untuk membuat siswa memahami sikap dan keterampilan, yang dibutuhkan untuk menjadi wirausahawan yang baik dan sukses.

Menurut Antonius, pendidikan entrepreneurship merupakan hal yang baru bagi guru. Karena itu, para pendidik tersebut perlu dilatih secara tepat sehingga mereka menemukan metodologi pembelajaran kewirausahaan yang menarik bagi siswa.

"Langkah praktis, misalnya, mengadakan kegiatan yang memberi ruang bagi siswa untuk terlibat langsung mempraktikkan kewirausahaan, seperti entrepreneurship week di sekolah," ungkapnya.

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan kewirausahaan masuk dalam kurikulum pendidikan. Menteri Perindustrian MS Hidayat yang juga ketua Kadin mengungkapkan, usulan tersebut bermula dari keprihatinan para pengusaha terhadap minimnya jumlah wirausahawan. Saat ini, orang Indonesia yang menjadi wirausahawan masih di bawah satu persen dari total jumlah penduduk, atau tak lebih dari 2 juta orang.

Ia menambahkan dengan adanya kurikulum kewirausahaan, pihaknya berharap jumlahnya menjadi 2-5 persen. Padahal di Singapura, jumlah wirausahawan hampir mencapai 10 persen dari jumlah penduduk. Berbagai studi menunjukkan, jumlah pengusaha berbanding lurus dengan kemakmuran di suatu negara. Yang jelas, semakin banyak jumlah pengusaha akan semakin menekan jumlah pengangguran.

Semoga langkah ini bisa menjadi awal rasio jumlah pengusaha dibandingkan jumlah penduduk mencapai 12 persen, seperti rata-rata negara-negara maju. ed: damhuri

No comments:

Post a Comment