Teliti sebelum membeli. Istilah itu mungkin sepele, tetapi besar artinya bagi para franchisee yang ingin membeli usaha waralaba. Para franchisee yang ingin sukses dengan merek atau usaha waralaba yang sudah cocok di hati, jangan sampai membutakan mata untuk mencermati hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan.
Karena itu, langkah yang sangat strategis ketika mau memulai usaha adalah memperhatikan secara cermat franchise agreement (perjanjian waralaba) dengan franchisor. Masalahnya, jika suatu kepentingan tidak diatur di dalam perjanjian, maka bisa menyulitkan keduanya, bahkan merusak hubungan kemitraan antara franchisor dan franchisee.
Menurut pengamat hukum franchise, Mira Sudiro dari lembaga hukum Said, Sudiro & Partner, perjanjian waralaba sangat penting bagi kedua belah pihak. Semua hal yang menyangkut kerja sama harus dituangkan dalam sebuah perjanjian waralaba. Setidaknya, perjanjian itu harus memuat ketentuan minimum sebagaimana disyaratkan dalam peraturan menteri yang menyangkut hak dan kewajiban kedua pihak.
Lebih lanjut, Mira menjelaskan, masing-masing pihak harus mengerti apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dalam posisi sebagai franchisee, di samping kewajiban pembayaran seperti franchise fee dan royalti, banyak kewajiban lainnnya yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan franchisor.
Ditegaskan Mira, franchisee yang tidak paham akan konsekuensi hukum dari isi perjanjian waralaba yang telah ditandatangani dan tengah berjalan, pada saat mengalami perselisihan dengan franchisor bisa merasa terjebak oleh perjanjian yang dia tanda tangani. Keadaan dapat semakin tidak menguntungkan Franchisee apabila kemudian perjanjian waralaba diputuskan sebelum jangka waktunya berakhir.
Menurut Mira, perjanjian waralaba harus dipersiapkan secara cermat dan ditaati serta dihormati. "Dengan diaturnya hak dan kewajiban masing-masing pihak beserta akibat atau pinalti atau tindakan yang dapat diambil, maka diharapkan para pihak akan berusaha memenuhi kewajiban-kewajibannya dan menghormati hak masing-masing sebagaimana diatur dalam perjanjian," katanya.
Diakui, sebenarnya tidak ada standar mengenai perjanjian waralaba. Umumnya franchisor telah mempersiapkan sendiri perjanjiannya. "Ini wajar saja karena franchisor punya kepentingan mengontrol sistem usahanya yang diwaralabakan kepada pihak lain. Kalaupun perjanjian yang disodorkan oleh franchisor terlihat kurang fair bagi posisi Franchisee, maka calon franchisee dapat mengajukan usulan perubahan untuk dimasukkan ke dalam perjanjian," kata Mira.
Mira juga menyarankan, franchisee sebaiknya proaktif untuk mempelajari terlebih dahulu konsep perjanjiannya. Apabila suatu kewajiban dianggap terlalu membebankan franchisee sebaiknya calon franchisee memberikan pertimbangannya kepada franchisor sehingga dapat dicarikan cara untuk menyelaraskannya.
Menurut Mira, hal pertama yang harus dilihat dalam klausul-klausul perjanjian antara lain, pertama, mengenai besarnya imbalan waralaba yang harus dibayar dalam masa berlakunya perjanjian. Kedua, mengenai apa yang akan didapat oleh franchisee dari nilai imbalan waralaba. Ketiga, kapan imbalan waralaba harus dibayar. Keempat, kewajiban pembayaran lainnya seperti royalti, administration fee, berapa dan kapan wajib dibayarkan, berapa besar penalti apabila terlambat melakukan pembayaran.
Kemudian harus dilihat pula mengenai, kapan franchisee harus mulai menjalankan usaha tersebut, dan apakah perjanjian dimungkinkan untuk diputuskan sebelum jangka waktunya berakhir. Menurut Mira, karena perjanjian waralaba merupakan kesepakatan para pihak, maka setelah perjanjian ditandatangani dan berjalan, perubahan, perbaikan atau pun penambahan klausul-klausul juga harus atas kesepakatan kedua belah pihak dan ditandatangani kedua belah pihak.
Untuk menghindari perjanjian waralaba yang tidak menguntungkan, masing-masing pihak harus memahami konsekuensi hukum dari klausul-klausul perjanjian waralaba. Menurut Mira, memahami konsekuensi hukum dari klausul-klausul dalam perjanjian waralaba bukan hal yang mudah. Karena itu disarankan kepada calon franchisor maupun calon franchisee untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan konsultan hukum waralaba sebelum menandatangani perjanjian waralaba.
Kerugian bagi franchisee jika tidak teliti atau tidak paham konsekuensi hukum dari isi perjanjian waralaba yang telah ditandatangani dan tengah berjalan, pada saat mengalami perselisihan dengan franchisor bisa merasa terjebak oleh perjanjian itu. Keadaan dapat semakin tidak menguntungkan franchisee apabila kemudian perjanjian waralaba diputuskan sebelum jangka waktunya berakhir.
Mengenai besarnya royalti yang disodorkan dalam perjanjian waralaba apakah bisa dinegosiasikan, menurut Mira, ada kalanya atas pertimbangan franchisor, diberikan toleransi tertentu berkenaan dengan kewajiban pembayaran royalti. Misalnya diberikan kurun waktu tertentu di mana franchisee dibebaskan dari kewajiban pembayaran royalti.
Dalam berbagai kasus, banyak franchisor dan franchisee tidak paham betul klausul-klausul apa saja yang harus diatur dalam suatu perjanjian. Ketika sudah berjalan, tidak sedikit kedua belah pihak mengalami kendala dalam menerapkan isi perjanjian. Akhirnya franchisee menganggap franchisor tidak beritikad baik untuk menyediakan perjanjian waralaba yang sesuai dengan ketentuan waralaba yang berlaku. Sebaliknya franchisor menganggap franchisee tidak beritikad baik untuk memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati. Pada akhirnya kedua belah pihak terjebak pada suatu sengketa hukum atau perselisihan hukum yang bermula dari suatu perjanjian waralaba yang tidak sempurna. "Ini hanya salah satu contoh dari banyak kasus yang sedang kami tangani. Banyak kasus lainnya yang bermula dari perbedaan penafsiran isi perjanjian oleh pihak franchisee ataupun pihak franchisor, yang awalnya disebabkan pasal-pasal perjanjian yang tidak lengkap, rancu atau tidak jelas," kata Mira seraya menyarankan sebaiknya sebelum memasuki perjanjian waralaba franchisor dan franchisee melakukan konsultasi hukum dahulu.
Sumber : Majalah Info Franchise Indonesia
www.majalahfranchise.com
No comments:
Post a Comment