Menjadi franchisee tidak berarti mendelegasikan seluruh tugas dan tanggung jawab kepada franchisor. Bagaimana menjadi franchisee yang ideal
Keberhasilan sebuah usaha tidak hanya ditentukan oleh modal yang besar. Modal hanya salah satu tool yang bisa mendorong seseorang memiliki usaha dan menjalankannya. Tetapi, sesungguhnya sukses sangat ditentukan oleh bagaimana sang pelaku bisnis itu membangun usahanya. Robert T. Kiyosaki dalam bukunya “Cashflow Quadrant” menyebutkan, keberhasilan ditentukan oleh keinginan kuat untuk belajar secara cepat dan kemampuan untuk memanfaatkan aset pribadinya (kecakapannya) di usaha yang dijalankannya.
Di bisnis waralaba, berlaku juga hukum seperti ini. Bagi franchisee, membeli usaha waralaba bukan berarti melepas tanggung jawab seluruhnya kepada franchisor. Karena, berhasil tidaknya usaha yang dijalankan franchisee di lokasi tertentu sangat ditentukan oleh pemiliknya (franchisee). Sejumlah franchisor justru memandang hal ini sangat ketat, sehingga selektif dalam memilih franchisee. Setidaknya, franchisor yang serius mengembangkan usahanya dalam jangka panjang khawatir franchise yang tidak memiliki visi usaha yang jelas bisa merugikan mereknya.
Menurut konsultan franchise dari IFBM, Kemal Sudiro rata-rata franchisor yang benar, sangat ketat dalam memilih franchisee. Alasan pertama yang bisa meloloskan franchisee adalah visinya, bahwa sang investor memiliki pemahaman yang sama dan menyukai bisnis yang dipilihnya. Jika sejak awal franchisee tidak menyukai bisnisnya, kata Kemal, bisa saja di tengah jalan ditinggalkan. Kalau sudah begitu, bisnis franchisee bisa tidak jalan. Franchisor yang concern terhadap bisnis, tidak menginginkan hal itu terjadi, karena bisa menjadi catatan buruk di dalam sejarah rantai bisnis franchiseenya atau brand-nya terkontaminasi oleh prilaku buruk franchisee. “Nomor satu dia harus mempunyai minat yang sama atas jenis usahanya, jadi pikirannya tidak boleh cuma karena di atas kertasnya untung atau cuma cari untungnya doang,” katanya.
Kemal juga menjelaskan, bukan sikap yang benar jika franchisee mengambil posisi sebagai silent partner. Artinya, franchisee harus ikut all out untuk memikirkan keberhasilan usahanya itu. Biasanya, menurut Kemal, franchisee yang memiliki minat kuat dan mau all out akan meghasilkan sinergy yang jauh lebih baik dengan franchisor. Berbagai kekurangan bisa di-support habis. Misalnya, sebut saja kurang modal, franchisor bisa meng-create agar franchisee ini terus berjalan. “Franschisor yang baik akan memilih ke sana bukan memilih orang yang hanya punya modal saja,” tandasnya.
Lebih lanjut Kemal menjelaskan, franchisor umumnya menghindari franchisee yang tidak mau kooperatif dan maunya menang sendiri. Atau yang dari awal sudah meminta jaminan bahwa bisnis itu untung. “Kan banyak tuh yang tanya, pak saya ngambil ini dijamin untung, yah. Kalau enggak untung, ribut, nuntut. Namanya bisnis, kadang untung, kadang rugi, yang penting harus dijalanin dengan benar,” katanya.
Menurut Kemal, ada bahanyanya jika franchisee tidak sesuai keinginan franchisor. Dijelaskan, di dalam usaha franchise ada tiga role utama yang dijalankan oleh Franchisor yaitu, brand development, marketing development, dan training development. Jika franchisor mendapatkan franchisee yang buruk, akibatnya sangat kuat terhadap brand usaha tersebut. Niatan utama ingin mengembangkan bisnis sekaligus membangun image bisa berantakan. “Misi franchsior itu yang tadinya membangun branding image bisa jadi bumerang,” tandasnya.
Karena itu, tutur Kemal, tidak semua pengusaha yang berpeluang memfranchisekan usahanya mau membuka jaringan franchise. Dia menceritakan, ada beberapa rumah makan atau kafe yang memiliki jaringan outlet sangat besar dan sukses, tetapi tidak mau membuka jaringan franchise. Padahal, jika difranchisekan bisa mendapatkan untung lebih banyak. Namun alasannya, mereka tidak mau mengambil resiko karena harus menjaga image brand-nya dan juga standar layanannya. “Ketimbang pusing dan menjaga (image) yang merepotkan mendingan tidak usah dibagi (difranchisekan). Ada kan yang begitu,” tutur Kemal
Tetapi, franchisor yang serius mengembangkan usahanya sangat ketat memilih franchiseenya. Pengaruh franchisee yang buruk sangat berbahaya terhadap masa depan usaha atau merek. Menurut Kemal, kalau kebetulan franchisor mendapatkan franchisee yang buruk, jika sulit untuk diperbaiki jalan terakhir adalah diputuskannya hubungan franchisenya atau bahkan ada yang sampai melakukan aksi buy back atau membeli kembali usaha tersebut, demi menjaga citra brand-nya.
Bagaimanapun, tegas Kemal, franchisor harus memilih/menseleksi franchisee karena mereka akan bermitra dalam periode masa tertentu. Ibarat memilih istri, memilih franchisee pun, kata Kemal tidak bisa sembarangan. Sebab, jika berantem di tengah jalan, bisa merepotkan. Seyogyanya, franchisor harus memilih franchisee yang menyukai produknya.
Sumber : Majalah Info Franchise Indonesia
www.majalahfranchise.com
Kemal menambahkan, umumnya kriteria ideal yang diinginkan oleh franchisor terhadap franchiseenya adalah, pertama, harus care dengan jenis usaha yang diambilnya. Kedua, franchisee harus punya rasa memiliki seperti memiliki bisnis atau merek sendiri. Dalam hal ini, hubungan yang dibangun terhadap franchisornya harus seperti yang dibangun terhadap customernya. Sebagai contoh, franchisee mempunyai kepentingan menjaga pelanggannya, maka hubungan dengan franchisor pun harus seperti itu. Hal ini untuk menjaga hubungan bisnis agar tetap langgeng. “Tidak berangkat dari mau menang sendiri saja, nyalahin franchisor saja. Tapi segala input atau masukan itu akan dibicarakan sama-sama untuk kebaikan bersama, bukan hanya kepentingan outlet-nya saja,” kata Kemal.
No comments:
Post a Comment